Jakarta | DETAKKita.com — Kasus viral penahanan seorang ibu muda bernama Rina beserta bayinya yang masih berusia 9 bulan di Mapolrestro Jakarta Pusat memicu keprihatinan berbagai pihak. Salah satunya datang dari Guru Besar Hukum Internasional dan Tokoh Ekonomi Nasional, Prof. Dr. KH Sutan Nasomal, SH., MH.
Dalam pernyataannya kepada sejumlah media nasional dan internasional, Prof. Sutan mengecam keras tindakan aparat penegak hukum yang dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan asas keadilan. Ia meminta agar Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kapolri segera duduk bersama untuk merumuskan kebijakan hukum yang lebih berpihak kepada rakyat kecil, khususnya dalam kasus perempuan dan anak.
“Demi kemanusiaan dan keadilan yang hakiki, semua pihak harus bersinergi untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan manusiawi. Proses hukum harus tetap berjalan, tapi bukan berarti mengabaikan hak-hak anak dan perempuan,” ujar Prof. Sutan dari markas pusat Partai Oposisi Merdeka di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
KADIN: Penahanan Bertentangan dengan Prinsip Perlindungan Anak
Ketua Komite Tetap Advokasi dan Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak KADIN Indonesia, Jurika Fratiwi, SH., SE., MM., juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap tindakan Polres Jakarta Pusat. Ia menilai penahanan ibu menyusui bersama bayinya melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip perlindungan anak.
“Dalam kunjungan saya ke Polres Jakarta Pusat pada 4 Agustus 2025, kami mendapati bahwa meskipun tersedia ruang menyusui, kondisi ruang tahanan secara umum tetap tidak layak secara kesehatan dan psikologis untuk bayi. Akibatnya, si anak mengalami demam dan muntah karena lingkungan yang tidak manusiawi,” kata Jurika.
Ia menambahkan, tindakan aparat tersebut berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain:
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
Pasal 16 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan larangan atas penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi;
PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menjamin hak ibu untuk menyusui dan anak untuk mendapat ASI eksklusif;
Perkap No. 10 Tahun 2022, yang menyebut bahwa penahanan harus menjadi jalan terakhir (ultimum remedium) dan bisa digantikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Jurika juga menilai kasus ini seharusnya masuk dalam ranah perdata karena lebih mengarah pada wanprestasi dalam jual beli kendaraan. “Ibu Rina bahkan telah mencicil pembayaran, yang menunjukkan adanya itikad baik. Ini bukan perkara niat jahat, jadi penerapan pasal penggelapan perlu dikaji ulang,” tegasnya.
Jurika menyatakan pihaknya telah mengajukan surat resmi permohonan penangguhan penahanan kepada Kapolres Jakarta Pusat. “Kami minta Ibu Rina dan bayinya segera dibebaskan. Ini soal kemanusiaan, bukan sekadar prosedur hukum,” tutupnya.
PPWI: Tagline Polri Hanya Lip Service
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, turut mengecam keras tindakan Polres Jakarta Pusat. Ia mempertanyakan konsistensi tagline Polri Presisi, Polisi Humanis, hingga Polri untuk Masyarakat yang selama ini digaungkan.
“Semua itu hanya lip service. Faktanya, Polri masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Semboyan yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi ini adalah ‘Hepeng mangotor nagara on’ alias semua urusan hanya selesai kalau ada uang,” ujar Wilson, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012.