PEKANBARU | DETAKKita.com — Mengawali tahun 2025, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau makin gencar dalam penertiban ratusan peron sawit dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang diduga sebagai penerima buah dari sejumlah hutan kawasan ataupun daerah terlarang lainnya.
Bupati Kuantan Singingi Dr H Suhardiman Amby MM tepat pada Selasa (07/01/2025) lalu, memimpin langsung Satuan Tugas (Satgas) atau Tim Audit Terpadu yang dibentuk untuk menertibkan buah sawit ilegal serta penadah, baik itu berupa Peron Sawit maupun PKS milik perusahaan.
Dimana hal itu dilakukan guna mengejar ratusan miliar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuantan Singingi, yang selama ini belum termaksimalkan. Hal itu disampaikan langsung Bupati Suhardiman Amby, usai menggelar rapat tertutup di Ruang Multimedia Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Kuantan Singingi, pada Rabu (08/01/2025).
“Jika ini dapat terselesaikan dengan baik segera, ada potensi PAD yang bisa kita selamatkan dari sawit ini, untuk itu perlu kita tertibkan baik itu Peron Sawit maupun PKS penerima buah sawit ini, sehingga dengan demikian ada sebesar Rp 493 Miliar potensi PAD yang bisa kita dapatkan,” kata Suhardiman Amby.
Sejauh ini, langkah Pemda Kuantan Singingi sudah sangat tepat, untuk itu media DETAKKita.com akan selalu mengawal dan mengawasi aktifitas dan perputaran buah sawit dari kawasan terlarang alias hutan kawasan.
Seyogyanya, dari hutan kawasan berbentuk apapun yang telah di kelola menjadi kebun sawit saat ini, tentunya ada indikasi melakukan perambahan hutan di hutan tersebut sebelumnya. Dimana hukum di Negara Republik Indonesia ini tidaklah berlaku surut. Hukum tetap berjalan, dan bisa kapan saja menjerat si pelaku pelanggarnya.
Dari informasi yang berhasil dirangkum DETAKKita.com di lapangan, Marpaung yang merupakan pendistribusi buah sawit dari hutan kawasan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) di wilayah Toro dan sekitarnya merupakan buah ilegal dan melanggar hukum secara nyata.
Marpaung yang selama ini mendistribusikan buah-buah kelapa sawit dengan modus Peron Sawit dan diangkut dengan menggunakan kendaraan berat melalui jalur perusahaan PT RAPP maupun jalan Pemda selama ini, ternyata sudah beroperasi sangat lama dan menjualnya ke sejumlah PKS di wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, salah satunya PT Gemilang Sawit Lestari (GSL).
Selain dengan kepemilikan peron sawit secara ilegal dan penadah buah ilegal dari kawasan terlarang, Marpaung juga diduga menguasai belasan hingga puluhan hektare (ha) lahan atau tanah di wilayah hutan kawasan TNTN tersebut.
Hal itu diperkuat dengan informasi warga yang sengaja tak disebutkan namanya itu, Marpaung saat ini diduga memiliki seluas 15 Hektare lahan kawasan di wilayah Kuala Renangan Kabupaten Pelalawan, Riau.
“Ada sekitar 15 hektare itu kebun Marpaung yang punya Peron Sawit di Toro itu di Kuala Renangan, dan ada juga di beberapa lokasi lainnya, lumayan lah banyaknya,” sebut sumber informasi DETAKKita.com yang sengaja tidak disebutkan namanya itu.
Artinya, jika Marpaung itu memiki dan menguasai lahan kebun sawit diatas lahan hutan kawasan TNTN selama ini, tentunya dapat diduga Marpaung juga merupakan seorang perambah hutan kawasan tersebut.
Untuk itu, masyarakat berharap agar Aparat Penegak Hukum (APH) segera bertindak dan menindak lanjuti akan hal ini, baik itu Polisi Kehutanan (Polhut) maupun Polda Riau dan Jajarannya untuk segera menangkap Marpaung.
Selain itu, Menteri Kehutanan Indonesia Raja Juli Antoni, yang merupakan putra asli Kuantan Singingi Provinsi Riau diharapkan untuk segera turun gunung melihat kondisi Hutan di kampung halamannya. Dimana hal ini hendaknya agar segera dijadikan sebagai atensi khusus pemerintah pusat dan daerah.
Apapun alasannya, pemilik lahan (menguasai .red) maupun jasa sewa alat untuk melakukan kegiatan perambahan hutan kawasan tersebut, hukumnya sama. Diduga ada kerjasama antara kedua belah pihak sehingga kegiatan tersebut dapat dilaksanakan.
Hingga berita ini diterbitkan DETAKKita.com masih berusaha melakukan upaya konfimasi kepada UPT KPH Sorek DLHK Provinsi Riau dan APH terkait lainnya.
Untuk diketahui pada pasal 78 ayat (3) UU Kehutanan, sebagaimana telah diubah UU Cipta Kerja, menyebut, “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a (mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah) dipidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp7,5 miliar”.