RANTAUPRAPAT | DETAKKita.com — Gerakan Revolusi Aktivis Mahasiswa (GERAM) Labuhanbatu Raya menyampaikan kecaman keras terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta pemerintah daerah, khususnya Kadis PMD dan Kepala Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu. Kritik ini muncul setelah Desa Sennah ditetapkan sebagai desa percontohan anti-korupsi, meski desa tersebut diduga tengah bermasalah dengan pengelolaan dana desa.
Latar Belakang
Penetapan Desa Sennah menuai kontroversi. Sebelumnya, masyarakat bersama mahasiswa telah menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Inspektorat Labuhanbatu, menuntut audit atas penggunaan dana desa sejak tahun 2018 hingga 2024. Namun, justru setelah aksi itu, KPK mengumumkan Desa Sennah sebagai salah satu desa percontohan anti-korupsi.
Kritik GERAM
Ketua GERAM Labuhanbatu Raya, Jepril Harefa, mempertanyakan keputusan tersebut. Menurutnya, penetapan Desa Sennah tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
“Ini menjadi pertanyaan besar. Jangan sampai penetapan ini justru bagian dari upaya saling menutupi kebobrokan antara Kepala Inspektorat dan Kadis PMD Labuhanbatu,” ujarnya, Rabu (1/10/2025) kemarin.
Jepril juga mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Negeri Labuhanbatu, serta aparat penegak hukum lain di Sumut untuk turun tangan membentuk tim investigasi khusus. Ia menekankan perlunya penyelidikan serius atas dugaan korupsi dan penyalahgunaan jabatan oleh Horas Lumban Gaol, yang telah menjabat sebagai Kepala Desa Sennah selama tiga periode.
Penilaian KPK Dipertanyakan
Dari informasi yang dihimpun, kunjungan perwakilan KPK ke Desa Sennah hanya meninjau parit di Dusun Sukarame dan pembangunan air bersih di Dusun Kampung Pandan. Padahal, menurut GERAM, masih banyak aspek yang seharusnya diaudit, termasuk BUMDes dan infrastruktur desa lainnya yang bersumber dari dana desa.
Berdasarkan data, Desa Sennah memperoleh nilai 97,5 sebagai desa percontohan anti-korupsi, dari 12 desa yang dinilai KPK bersama Inspektorat Provinsi Sumatera Utara.
Namun, Jepril menilai angka tersebut tidak sesuai realitas. “Nilai 97,5 itu berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. KPK seharusnya turun langsung melihat pengelolaan BUMDes dan proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dana desa. Dengan begitu, penilaian benar-benar mencerminkan proses yang transparan, bukan sekadar formalitas,” tegasnya.