PEKANBARU | DETAKKita.com — Di tengah gemuruh sorak penonton dan deru jalur yang membelah aliran Sungai Batang Kuantan, tradisi Pacu Jalur tetap menjadi denyut nadi budaya masyarakat Kuantan Singingi. Namun di balik semarak pesta rakyat tahunan ini, tersimpan jejak sejarah panjang yang berakar dari masa kolonial Belanda, bermula di sebuah negeri tua bernama Baserah.
Asal-Usul Jalur: Dari Moda Transportasi ke Simbol Budaya
Sejarah mencatat bahwa jalur pada awalnya bukanlah perahu pacu, melainkan alat transportasi sungai utama masyarakat Kuantan di sekitar abad ke-17 hingga 19. Jalur digunakan untuk mengangkut hasil pertanian, rotan, rempah, serta getah dari pedalaman menuju daerah pesisir seperti Baserah dan Teluk Kuantan yang kala itu menjadi simpul perdagangan.
Negeri bernama Baserah, yang secara geografis berada di hilir Sungai Batang Kuantan, menjadi pelabuhan penting dalam distribusi hasil bumi. Di masa kolonial Belanda, Baserah menjadi pusat logistik pemerintah Hindia Belanda karena akses sungainya yang strategis. Dari sinilah, jalur-jalur besar mulai dibangun dan dimodifikasi, baik untuk kebutuhan angkutan jarak jauh maupun untuk kepentingan pertunjukan kekuatan.
Kolonialisme dan Awal Kompetisi Jalur
Tradisi Pacu Jalur diperkirakan mulai muncul sekitar awal abad ke-20, sebagai bagian dari ritual syukuran dan penghormatan terhadap ulang tahun Ratu Belanda (Queen’s Day) pada masa kolonial. Pemerintah Belanda saat itu kerap menyelenggarakan acara-acara rakyat untuk meredam gejolak perlawanan serta membina hubungan sosial antara penguasa dan masyarakat adat. Jalur-jalur yang dulunya digunakan untuk bekerja, mulai dihias dan diperlombakan di Sungai Batang Kuantan tepatnya Tepian Lubuok Sobae Baserah.
Baserah menjadi lokasi pertama penyelenggaraan Pacu Jalur secara formal dengan restu kolonial, sebelum tradisi ini menyebar ke Hulu Kuantan, Gunung Toar, dan daerah lainnya.
Transformasi Makna: Dari Ritual Kolonial ke Warisan Adat
Seiring kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, masyarakat Kuantan menjadikan Pacu Jalur sebagai simbol identitas budaya, bukan lagi sekadar perayaan penjajah. Kegiatan ini kemudian diintegrasikan dalam kalender adat, terutama menyambut bulan Muharram dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sejak dekade 1960-an, Pacu Jalur tak lagi hanya dilaksanakan di Baserah, tapi juga dipusatkan di Tepian Narosa Teluk Kuantan, karena letaknya yang strategis dan dapat menampung lebih banyak penonton. Meskipun begitu, Baserah tetap dikenal sebagai “ibu kota sejarah Pacu Jalur”, dan setiap tahunnya tetap menggelar pacu tersendiri sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai lokal.
Pacu Jalur Hari Ini: Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
Kini, Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebelum dipisah atau dibelah menjadi Kementerian sendiri, yakni Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI, dimana hal itu sejak 2025 dibawah kepemimpinan Presiden RI, Prabowo Subianto. Lebih dari sekadar lomba perahu, Pacu Jalur adalah ekspresi dari gotong royong, seni ukir tradisional, dan ketangguhan masyarakat adat.
Setiap jalur dapat mencapai panjang hingga 25-30 meter, dengan hiasan ukiran naga, garuda, dan ornamen adat lainnya yang dirancang oleh tukang ukir tradisional. Setiap tim terdiri dari 40-60 orang yang disebut “anak pacu”, yang harus berlatih berbulan-bulan untuk mencapai kekompakan ritmis.
Menjaga Akar di Tengah Arus Modernisasi
Di tengah gempuran modernisasi dan industrialisasi, masyarakat Kuantan—khususnya di Baserah—masih menjaga filosofi Pacu Jalur: “Basamo Mangko Manjadi” (Bersama Kita Menjadi Kuat). Masyarakat sadar bahwa Pacu Jalur bukan sekadar tontonan, melainkan urat nadi identitas kolektif yang harus terus dirawat.
Baserah, sebagai tempat awal jalur berpacu, saat ini sangat perlu mengusulkan Museum Pacu Jalur dan Pusat Studi Budaya Sungai, agar generasi mendatang memahami bahwa setiap kayuhan di atas jalur, adalah kayuhan sejarah yang panjang.
Untuk itu, diharapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuantan Singingi (Kuansing) dibawah kepemimpinan Bupati H. Suhardiman Amby serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dibawah kepemimpinan Gubernur H. Abdul Wahid diharapkan bisa memberikan cerminan jati diri asal usul Pacu Jalur dari negeri bernama Baserah.
Begitu juga dengan organisasi kedaerahan yang ada, baik itu Ikatan Keluarga Besar Baserah (IKBB) maupun Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS) turut serta hendaknya peduli dengan warisan budaya yang telah terawat dari abad ke-17 hingga saat ini di Baserah.
Rangkuman Gabungan Tim Redaksi DETAKKita.com
Pekanbaru, Riau – Sabtu, 2 Agustus 2025