Scroll untuk baca artikel
OpiniProvinsi Sumatera Utara

Mahasiswa dan Krisis Literasi: Dari Eksistensi Menuju Esensi Intelektual

×

Mahasiswa dan Krisis Literasi: Dari Eksistensi Menuju Esensi Intelektual

Sebarkan artikel ini
Mahasiswa dan Krisis Literasi: Dari Eksistensi Menuju Esensi Intelektual

Oleh: Nasmaul Hamdani
Medan, 20 Oktober 2025

Dulu, kata mahasiswa identik dengan kehormatan. Mereka disebut kaum terpelajar, penjaga nurani rakyat, dan motor perubahan sosial. Namun kini, sebutan itu perlahan kehilangan maknanya. Di era digital yang serba cepat, banyak mahasiswa justru terjebak dalam pusaran eksistensi—terlihat aktif di permukaan, tapi kehilangan kedalaman berpikir.

Kampus yang mestinya menjadi ruang nalar dan refleksi kini berubah menjadi panggung eksistensi. Media sosial menggantikan peran ruang baca dan forum ilmiah. Dari mencari makna menjadi mencari perhatian; dari meneliti ide menjadi mengedit caption; dari memperjuangkan gagasan menjadi mengejar like dan view.

Krisis Literasi di Era Serba Instan

Data UNESCO beberapa tahun silam menyebut, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca serius. Tragisnya, gejala ini menjalar juga di dunia kampus—tempat seharusnya literasi menjadi napas utama.

Perpustakaan kini sunyi, buku-buku berdebu, sementara kafe dan tempat selfie ramai oleh mahasiswa yang lebih suka mendokumentasikan momen daripada memperdalam wawasan. Seorang dosen muda bahkan berujar getir, “Banyak mahasiswa sibuk membuat konten, tapi malas membaca konteks.” Kita sedang kehilangan generasi pembaca, dan melahirkan generasi pencari perhatian.

Budaya Show-Up dan Matinya Nalar

Fenomena “show-up” menggantikan “think-deep”. Banyak mahasiswa hadir dalam seminar hanya untuk absen dan foto bersama. Diskusi tak lagi memantik refleksi; makalah disalin, bukan ditulis dengan pemahaman. Akibatnya, intelektualitas berhenti pada permukaan—tampil di depan kamera, tanpa isi di kepala.

Padahal, menjadi mahasiswa berarti eksis dalam gagasan, bukan sekadar eksis di ruang publik. Ketika kemampuan menalar mati, gelar mahasiswa tinggal nama tanpa makna.

Kampus: Dari Ruang Ilmu ke Ruang Dokumentasi

Sistem pendidikan tinggi juga turut andil dalam krisis ini. Kampus terlalu sibuk dengan formalitas: akreditasi, nilai, laporan kegiatan—sementara esensi belajar hilang di tengah tumpukan administrasi.

Mahasiswa menulis karena takut nilai jelek, bukan karena haus ilmu. Dosen mengajar untuk memenuhi kewajiban, bukan membangun nalar. Diskusi akademik kini tergantikan oleh scrolling di layar gawai. Seorang pengamat pendidikan menilai tajam, “Intelektualitas mahasiswa kini berhenti di layar ponsel. Kampus kehilangan ruh sebagai laboratorium gagasan.”

Aktivisme Tanpa Bacaan: Gerakan yang Kehilangan Arah

Krisis literasi juga menggerogoti dunia aktivisme kampus. Banyak mahasiswa turun ke jalan tanpa memahami akar masalah yang diperjuangkan. Aksi menjadi ritual, orasi menjadi slogan, perjuangan kehilangan arah.

Bagaimana mungkin menuntut perubahan tanpa memahami data dan sejarah? Gerakan tanpa bacaan hanya menghasilkan kebisingan—keras suaranya, lemah isinya. Aktivisme kehilangan ideologi ketika literasi tak lagi jadi bahan bakar perjuangan.

Membangun Kembali Esensi Literasi

Kebangkitan literasi bukan hanya tugas mahasiswa, tapi tanggung jawab kolektif dunia pendidikan. Beberapa langkah yang perlu digerakkan antara lain:

Menghidupkan kembali perpustakaan sebagai ruang belajar, bukan sekadar simbol.

Mendesain kurikulum yang menantang daya pikir, bukan hanya mengejar angka.

Menghidupkan gerakan mahasiswa berbasis riset dan bacaan, bukan mobilisasi massa.

Menumbuhkan budaya menulis dan berdiskusi sejak dini, bukan sekadar saat seminar.

Literasi sejati bukan sekadar membaca buku, tapi membaca realitas dan menulis gagasan untuk mengubahnya.

Saatnya Mahasiswa Kembali Menjadi Intelektual Sejati

Eksistensi penting, tetapi tanpa esensi, semua hanya menjadi kebisingan kosong. Mahasiswa harus memilih: ingin dikenal karena tampilan, atau dihormati karena pemikiran. Sebab, bangsa besar dibangun bukan oleh mereka yang sibuk eksis, melainkan oleh mereka yang tekun mencari esensi.

Seperti kata penulis, “Revolusi sejati tidak lahir dari teriakan, tapi dari pikiran yang tenang dan bacaan yang dalam.”

Kini saatnya mahasiswa kembali membaca, menulis, dan berpikir—karena di tengah dunia yang riuh oleh eksistensi, menjaga esensi adalah bentuk perlawanan paling cerdas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *