PUCUK RANTAU | DETAKKita.com — Mulai beranjak tengah malam di Lapangan Sepak Bola Desa Pangkalan, Kecamatan Pucuk Rantau. Udara lembab akibat usai turunnya hujan deras membasahi bumi “Mutiara Di Ujung Negeri” membawa kesejukan, sementara cahaya lampu warna warni di panggung utama yang ikut menghiasi suasana malam. Ratusan warga sudah berkumpul. Mereka datang bukan sekadar menghadiri acara kunjungan kerja, tetapi menantikan kabar yang telah lama dinanti — kabar tentang pemerataan pembangunan di wilayah mereka.
Di tengah masyarakat, Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) H. Suhardiman Amby berdiri dengan senyum hangat. Malam itu, ia mengumumkan rencana besar: pembangunan Balai Adat di Pucuk Rantau, sebuah bangunan yang akan menjadi pusat musyawarah dan tempat berkumpulnya para ninik mamak, pemangku adat, dan cucu kemenakan.
“Kita berencana membangun Balai Adat di Pucuk Rantau, yang nantinya akan menjadi tempat berkumpulnya para pemangku adat, ninik mamak, dan cucu kemenakan untuk bermusyawarah membahas kemajuan daerah,” ujar Bupati Suhardiman dengan suara mantap. “Balai ini akan menjadi simbol kebersamaan antara pemerintah dan adat dalam mengatur langkah pembangunan Kuansing ke depan.”
Tepuk tangan panjang pun bergema. Bagi masyarakat Pucuk Rantau, kabar itu bukan sekadar rencana pembangunan, melainkan pengakuan atas keberadaan mereka — wilayah yang dijuluki Mutiara di Ujung Negeri, namun selama 26 tahun berdirinya Kabupaten Kuansing, belum memiliki fasilitas seperti Balai Adat yang dimiliki kecamatan lain.
“Selama 26 tahun Kuansing berdiri, Pucuk Rantau belum memiliki fasilitas seperti Balai Adat. Karena itu, sudah saatnya daerah ini mendapatkan perhatian yang sama seperti kecamatan lainnya,” tegasnya. “Kita ingin pembangunan ini adil dan dirasakan seluruh lapisan masyarakat, dari hulu hingga hilir.”
Suasana malam itu terasa istimewa. Hadir pula Ketua DPRD Kuansing H. Juprizal, Sekretaris Daerah (Sekda) Zulkarnain, para Kepala OPD, Direktur RSUD Teluk Kuantan, serta Plt. Camat Pucuk Rantau Yulinar dan Plt. Camat Kuantan Mudik Januarisman, serta pejabat dari kecamatan sekitar — semua menyatu dalam satu tujuan: membangun dari pinggiran.
Di tengah masyarakat yang berkumpul, tampak para ninik mamak menyimak dengan khidmat. Ada rasa haru yang tersirat. Balai Adat bukan hanya sekadar bangunan, melainkan simbol kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kuansing — tempat di mana segala persoalan dimusyawarahkan, dan nilai adat dijunjung tinggi.
“Pemerintah daerah ingin menempatkan adat sebagai mitra strategis dalam pembangunan,” tambah Bupati. “Dengan adanya Balai Adat di Pucuk Rantau, kita harapkan seluruh keputusan pembangunan daerah bisa didudukkan bersama, dibahas secara musyawarah, dan membawa manfaat untuk masyarakat luas.”
Bupati Suhardiman menutup sambutannya dengan kalimat yang membuat hadirin terdiam sejenak — kata-kata yang seolah menggambarkan ruh dari pembangunan itu sendiri.
“Balai Adat bukan hanya bangunan, tapi wadah hati dan pikiran bersama. Di sinilah nanti kita akan duduk satu hamparan, menyatukan ide, menyusun langkah, dan memastikan bahwa Kuantan Singingi tumbuh dengan adat, berkemajuan dengan marwah, serta berjaya dengan kebersamaan.”
Malam pun semakin larut, tapi semangat masyarakat Pucuk Rantau tak padam. Di wajah mereka, terpancar rasa bangga dan optimisme baru. Sebuah harapan yang lama terpendam kini mulai menemukan bentuknya — harapan bahwa di ujung negeri ini, pembangunan akan hadir dengan wajah yang beradat dan bermarwah.